Senin, 01 Agustus 2016

Sudah Cerdik dan Cantik, Salehah Pula

Cerita ini saya dapatkan dari buku teman saya. Judul buku tersebut Agar Hati Tak  Salah Mencintai. Saya ingin membagikan cerita dari buku yang saya pinjam karena menurut saya ini sangat menginspirasi. Selamat membaca bloggers:)



Lelaki itu bernama Abdullah bin Abu Wa'dah. Genap sudah tiga hari tidak hadir ke majelis, tidak ikut halaqah. Selama ini ia tidak sempat mengabari guru dan sahabat-sahabatnya. Sang guru bertanya-tanya. Ada apa?

Dengan wajah berkabut, duka, dan gurat air mata, tepat pada hari keempat ia datang menemui gurunya. Benar saja sang guru langsung bertanya, "Ke mana saja engkau selama tiga hari ini?"

Dengan nada sedih Abdullah menjawab, "Aku sedang berduka, ya Guru. Istriku baru saja wafat selama tiga hari lalu."

"Oh, kalau begitu aku turut berduka. Semoga Allah memasukannya ke dalam surga-Nya dan memberimu ketabahan." Begitulah ungkapan bela sungkawa sang guru. Sederhana, tapi tepat sasaran. Bahwa yang meninggal semoga dimasukkan ke surga agar bahagia, sementara yang ditinggalkan diberi kesabaran dan tabah menghadapi ujian.

Sang guru bertanya, "Apakah engkau sudah menikah lagi?"

Abdullah tersentak. Ia kaget mendengar pertanyaan ini. Namun, ia berusaha untuk menjawabnya, "Tentu saja belum, Guru."

"Apakah engkau ingin menikah lagi?" tanya sang guru.

"Tentu saja mau, Guru."

"Bagaimana kalau aku nikahkan engkau dengan putriku?"

Abdullah tak mengira akan mendapat pertanyaan ini. Seperti guyon. Terkesan tak serius. Atau mungkin sang guru hendak menghiburnya. Mungkin. Entahlah.

Maka, Abdullah menjawab sekenanya, "Tentu saja aku terima nikah putrimu, Guru."

Di sinilah terjadi prosesi sakral antara dua insan untuk melangkah bersama, Setelah selesai pertemuan hari itu, Abdullah pun pulang ke rumahnya. Tanpa beban. Waktu terus berjalan. Matahari mulai beranjak pergi ke peraduannya, membentuk mega dan semburat merah jingga di langit barat sana. Burung-burung mulai pulang ke sarangnya.

Kumandang suara azan bergema meramaikan alam raya. Maghrib. Isya. Hingga malam tiba. Dan malam itu ada orang yang mengetuk pintu rumah Abdullah. Entah siapa. Abdullah bergegas buka pintu. Alangkah kagetnya ia karena sang guru kini berada di hadapannya, "Ini istrimu kuantar padamu karena kamu tidak datang menjempunya sore tadi!"

Deg!

Abdullah tergagap. Kaget dengan apa yang didapatinya saat ini. Nyata? Atau mimpi belaka? Seorang wanita cantik jelita kini ada di hadapannya. Tampak asri bermandi seri. Sungguh menawan hati bak bidadari turun ke bumi.

Abdullah bingung, kini ia hanya berdua dengan wanita yang baru dilihatnya itu. Sang guru entah ke mana, mungkin sudah pulang dan meninggalkannya. Ada rasa yang merona dalam wajah, berbaur dan membias. Itulah rasa malu yang kini dirasakan oleh Abdullah. Di rumah hanya ada sepotong roti dan segelas air putih. Hanya itu yang ada. Yang lain tidak ada. Bias itu berubah menjadi minder sehingga Abdullah menyatakan permohonan maaf kepada wanita yang telah menjadi istrinya itu.

Namun, permohonan maafnya tak mendapat sambutan baik, yang ada justru ketegasan kata. "Celakalah ayahku, Said bin Musayyab, mengapa ia menikahkan aku dengan seorang lelaki yang imannya lemah begini? Dia masih punya sepotong roti dan segelas air, tapi merasa tidak punya apa-apa!"

Tegas. Sederhana. Apa adanya. Menunjukkan karakter yang khas. Ialah perkataan putri Said bin Musayyab, menunjukkan keluhuran ilmu dan akhlak. Betapa sederhana hidupnya, ridha dengan apa yang ada. Dan sikap suami yang minder dengan apa yang dimilikinya, menjadikan ia berkata seperti di atas. Seharusnya tak usah malu dan minder diri, syukuri apa yang ada.

Cerita belum usai, Kawan!

Malam pertama mereka lalui dengan bahagia. Esok harinya, Abdullah hendak pergi ke majelis gurunya. Namun, sang istri mencegahnya dan berkata, "Bukankah engkau belajar dalam ilmu fikih bahwa hak perawan tujuh hari tidak boleh ditinggal?"

Abdullah tak jadi pergi. Ia tak berkutik dengan pernyataan sang istri. Memang demikian seharusnya. "Engkau benar!" jawab Abdullah. Selama tujuh hari ia tidak hadir ke majelis gurunya.

Pada hari kedelapan Abdullah hendak pergi ke majelis sang guru, namun lagi-lagi sang istri mencegahnya dan bertanya,"Engkau belajar apa dengan ayahku Said bin Musayyab?"

Abdullah menjawab, "Aku belajar semua ilmu. Ada tafsir, hadis, fikih, tarikh, dan semua ilmu tentang agama ini."

"Duduklah di sini," kata sang istri, "belajarlah padaku karena semua yang ada di kepala ayahku juga ada di kepalaku."

Masya Allah! Wanita luar biasa. Istri cerdik dan salehah. Dalam hal ilmu ia mewarisi keluhuran ayahnya, Said bin Musayyab. Sementara hal kezuhudan ia mewarisi kakeknya, Abu Hurairah. Alangkah beruntungnya Abdullah bin Abu Wad'ah mendapatkan seperti ini. Salehah, cerdas, dan cantik jelita.