“Kak
bangun salat subuh dulu, abis itu mandi,” ucapku kepada anak pertamaku Ashila
sambil membuka gordyn.
“Iya
bunda,” jawabnya lalu pergi mengambil wudu.
Aku
Tharina atau biasa dipanggil Rina. Kini aku bukan lagi seorang ABG, aku sudah
memiliki suami dengan dikarunai seorang anak. Untuk menempuh hidupku seperti
sekarang ini, aku harus melewati kerikil – kerikil yang terkadang menyakitkan.
“Ayah,
nanti ayah yang antar Ashila ke sekolah ya,” kataku, ”bunda mau ketemu sama
Jihan nanti, boleh kan?”
“Jihan
sahabat bunda waktu kuliah itu kan? Iya, boleh,” katanya sambil menyantap
sarapan pagi.
“Bundaaa,
aku berangkat dulu ya, assalamu’allaikum,” ucap Ashila sambil mengecup
tanganku.
“Wa’alaikumsalam
kak, hati-hati di jalan ya.”
Setelah
mengurus keperluan suami dan anak, waktunya untuk membereskan rumah. Aku
tinggal di rumah yang terbilang cukup mewah. Rumah ini merupakan warisan dari
kedua orang tuaku yang sudah tiada. Mereka hanya memiliki anak satu yaitu aku. Tidak
hanya itu, aku bisa hidup seperti ini hasil usaha keras suamiku, Deva.
Aku dan suamiku memiliki usaha di bidang Fashion, lebih tepatnya busana muslim.
Alhamdulillah, usaha kami lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Keberhasilan
ini semua atas dukungan Allah swt, kedua orang tua, juga sahabatku Jihan.
Nanti siang aku akan bertemu dengannya. Kami berdua sudah
lama tak bertemu selama 3 tahun karena Jihan melanjutkan studinya ke Korea
Selatan. Setelah ia menyelesaikan studinya, ia mengajakku untuk bertemu di
sebuah kafe yang ada di Jakarta.
“Assalamu’alaikum
Han, aku sudah sampai di tempat biasa nih,” kataku kepada Jihan melalui ponsel.
“Wa’alaikumsalam,
ini aku sudah mau sampai Rin,” jawabnya.
Kulihat dari kejauhan, Jihan yang saat ini tampilannya
berubah sejak kami masih satu kampus. Ia sekarang mengenakan jilbab, yang
membuatnya semakin cantik luar dan dalam.
“Rinaaaaaa,”teriaknya
sambil memelukku erat karena terlalu rindunya denganku.
“Aku
kangen banget sama kamu Han, betah banget sih di Korea,”kataku yang membalas
pelukannya.
“Iyalah
aku betah, tahu sendiri di sana banyak Oppa-oppa* hahaha,” katanya dengan
tertawa.
“Gimana
kabarmu?”
“Ya
beginilah, alhamdulillah baik, kamu gimana? Enak ya, sudah ada pendamping
hidup,” ledek Jihan disertai senyum jahilnya yang khas.
“Aku
baik, iya dong enak, kamu kapan nyusul?” balasku meledeknya.
Aku dan Jihan membicarakan tentang banyak hal dari dia
kuliah selama di Korea, sampai membahas topik saat kami masih kuliah.
“Kamu
tau kan si Irene? Dia sekarang jadi kayak gitu deh mukanya, itu gara-gara suka
ngejelekan kamu dulu tuh,” ujar Jihan.
“Hush!
Kamu enggak boleh bicara seperti itu, yang lalu biarlah berlalu. Kejadian dulu
sudah aku lupain kok.”
“Habisnya
aku kesal banget kamu digituin ama dia.” Jihan lalu memesan makanan tersedia
pada menu
Aku ingin sedikit bercerita kisahku yang dulu sempat
menjadi bahan omongan orang-orang di kampus. Saat aku pertama kali datang ke
kampus saja, orang – orang melihat ke arahku. Mungkin gayaku yang pas-passan
juga disertai mukaku yang tidak cantik.
Di kampusku ini memang kawasan untuk orang menengah ke
atas. Jadi, wajar saja aku diperlakukan tak sewajarnya. Aku mahasiswa Akuntasi,
Fakultas Ekonomi, di universitas yang terbilang elite di Jakarta. Aku memilih
kampus ini karena jurusan yang aku pilih terakreditasinya A. Lagi pula, kedua
orang tuaku juga merekomendasikan untuk aku masuk sini.
“Lah
orang udik kenapa masuk sini lo?!” tanyanya dengan nada sinis kepadaku.
“Mukanya
saja enggak pantas buat jadi mahasiswa sini, ya enggak?”ledeknya bersama
teman-temannya.
Aku hanya terdiam saat itu. Hati berteriak marah, tapi
mulut tak mampu melontarkan apa kata hati. Aku pun langsungpergi meninggalkan
mereka. Toilet menjadi tujuanku untuk menumpahkan air mata ini. Terdengar suara
langkah kaki yang mendekat ke arahku.
“Apa
ada orang di dalam?”tanya perempuan tersebut.
Perempuan tersebut terus menggedor-gedor pintu toilet.
Aku pun segera keluar dengan terpaksa. Ternyata perempuan itu adalah Jihan yang
menjadi sahabatku sampai saat ini.
“Kamu
habis nangis ya?” tanya Jihan sambil memegang mukaku.
Aku
hanya diam dan menunduk
“Kamu
bisa cerita ke aku, percaya saja sama aku.”
“Aku
enggak kenapa-kenapa kok hehe. Kamu anak akutansi juga?” kataku dengan mengalihkan
pembicaraan.
“Iya,
nama aku Jihan. Kamu siapa?”
“Aku
Tharina, panggil aja Rina. Salam kenal ya, daa aku mau ke kelas dulu ya.”
Sejak saat itu, perempuan tersebut dengan teman-temannya
masih saja memberiku cacian, terutama mengenai fisikku. Mereka adalah Irene,
Widya, Fina, dan Luna. Rupanya mereka seniorku yang terkenal dengan keganasan
mulutnya. Sudah banyak mahasiswa yang menjadi mangsa mereka, termasuk aku salah
satunya. Banyak pro dan kontra mengenai tingkah mereka.
Pernah waktu aku di kantin kampus makan siang di meja
sendirian. Ya, karena memang tidak ada yang mau berteman denganku. Wajahku yang
sangat pas-pasan, tubuhku yang besar,
membuat mereka menjauhiku.
“Heh
cewek jelek, minggir! Ini tempat makan gue sama teman-teman gue,” usir Irene.
“Noh,
lo pantas duduk di deket tempat sampah itu, hahaha,” saran sinis dari Luna.
“Eh
tunggu, denger-denger lo kan kaya ya. Kenapa enggak buat operasi muka
saja?”tanya Irene.
“Irene!
Lo bisa enggak sih, enggak usah nindas orang yang lemah!” kata mahasiswa yang
tiba-tiba datang di mejaku.
“Songong lo ye, manggil gue Irene doang,
enggak pake Kak Irene. Anak mana sih
lo?!” katanya sambil melayangkan tanggannya ke arah Jihan, tapi berhasil
ditangkis.
“Gue
seumuran ini sama lo, pokoknya gue denger lo nindas sahabat gue. Gue aduin ke
kepala jurusan. Terserah mau lo aduin gue ke bapak lu yang pejabat itu, gue gak
takut!” tantang Jihan.
“Raan,
kamu satu meja saja sama aku di sana. Kebetulan aku juga lagi makan sendiri,”
ajak Jihan kepadaku.
Aku menceritakan semua masalahku kepada Jihan. Tak peduli
orang sekitar melihatku dengan heran. Ucapan Kak Irene dan teman-temannya jujur
kuakui saat itu, memang menyakitkan. Apakah salah jika aku memiliki wajah dan
tubuh seperti ini? Apa aku juga harus menyalakan Tuhan yang menciptkanku? Lalu
mengapa Tuhan tidak menciptakan semua wanita itu cantik? Entah, sudah berapa
air mata yang kutumpahkan hanya masalah ini.
Sejak saat itu aku dengan Jihan bersahabat. Ia
mengajarkanku, jika ada orang yang menindasku haruslah dilawan jika memang ia
salah. Namun, jika orang tersebut menasehati kita benar, maka haruslah kita
terima nasehat tersebut.
Di kampus aku mulai mengikuti kegiatan kerohanian Islam
untuk bisa membentengi imanku yang terkadang mulai lemah. Dari organisasi
situlah aku bertemu dengan suamiku. Dia seniorku yang sangat aktif dalam
berbagai organisasi kampus.
Aku
tak tahu mengapa Kak Deva bisa menyukaiku. Ia pernah bilang, “Aku menemukan
diriku pada dirimu. Aku sudah tahu kamu menjadi bahan ejekan semua orang, tapi
aku mendapati kecantikan yang ada di dalam hatimu.”
Allah menciptakan setiap wanita ada yang cantik dan juga
jelek. Itu semua bertujuan apakah seorang wanita tersebut mampu menjalani apa
yang diberikan oleh-Nya. Cantik dan jelek merupakan ujian dari-Nya. Lagi pula
cantik dan jelek itu relatif. Mulailah memperbaiki diri karena hati juga perlu
cantik.
Keterangan:
*Oppa= Panggilan kakak laki-laki untuk adik perempuan
0 komentar:
Posting Komentar