Sabtu, 08 Oktober 2016

Hati Pun Perlu Cantik




“Kak bangun salat subuh dulu, abis itu mandi,” ucapku kepada anak pertamaku Ashila sambil membuka gordyn.
“Iya bunda,” jawabnya lalu pergi mengambil wudu.
Aku Tharina atau biasa dipanggil Rina. Kini aku bukan lagi seorang ABG, aku sudah memiliki suami dengan dikarunai seorang anak. Untuk menempuh hidupku seperti sekarang ini, aku harus melewati kerikil – kerikil yang terkadang menyakitkan.
“Ayah, nanti ayah yang antar Ashila ke sekolah ya,” kataku, ”bunda mau ketemu sama Jihan nanti, boleh kan?”
“Jihan sahabat bunda waktu kuliah itu kan? Iya, boleh,” katanya sambil menyantap sarapan pagi.
“Bundaaa, aku berangkat dulu ya, assalamu’allaikum,” ucap Ashila sambil mengecup tanganku.
“Wa’alaikumsalam kak, hati-hati di jalan ya.”
Setelah mengurus keperluan suami dan anak, waktunya untuk membereskan rumah. Aku tinggal di rumah yang terbilang cukup mewah. Rumah ini merupakan warisan dari kedua orang tuaku yang sudah tiada. Mereka hanya memiliki anak satu yaitu aku. Tidak hanya itu, aku bisa hidup seperti ini hasil usaha keras suamiku, Deva.
            Aku dan suamiku memiliki usaha di bidang Fashion, lebih tepatnya busana muslim. Alhamdulillah, usaha kami lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Keberhasilan ini semua atas dukungan Allah swt, kedua orang tua, juga sahabatku Jihan.
            Nanti siang aku akan bertemu dengannya. Kami berdua sudah lama tak bertemu selama 3 tahun karena Jihan melanjutkan studinya ke Korea Selatan. Setelah ia menyelesaikan studinya, ia mengajakku untuk bertemu di sebuah kafe yang ada di Jakarta.
“Assalamu’alaikum Han, aku sudah sampai di tempat biasa nih,” kataku kepada Jihan melalui ponsel.
“Wa’alaikumsalam, ini aku sudah mau sampai Rin,” jawabnya.
            Kulihat dari kejauhan, Jihan yang saat ini tampilannya berubah sejak kami masih satu kampus. Ia sekarang mengenakan jilbab, yang membuatnya  semakin cantik luar dan dalam.
“Rinaaaaaa,”teriaknya sambil memelukku erat karena terlalu rindunya denganku.
“Aku kangen banget sama kamu Han, betah banget sih di Korea,”kataku yang membalas pelukannya.
“Iyalah aku betah, tahu sendiri di sana banyak Oppa-oppa* hahaha,” katanya dengan tertawa.
“Gimana kabarmu?”
“Ya beginilah, alhamdulillah baik, kamu gimana? Enak ya, sudah ada pendamping hidup,” ledek Jihan disertai senyum jahilnya yang khas.
“Aku baik, iya dong enak, kamu kapan nyusul?” balasku meledeknya.
            Aku dan Jihan membicarakan tentang banyak hal dari dia kuliah selama di Korea, sampai membahas topik saat kami masih kuliah.
“Kamu tau kan si Irene? Dia sekarang jadi kayak gitu deh mukanya, itu gara-gara suka ngejelekan kamu dulu tuh,” ujar Jihan.
“Hush! Kamu enggak boleh bicara seperti itu, yang lalu biarlah berlalu. Kejadian dulu sudah aku lupain kok.”
“Habisnya aku kesal banget kamu digituin ama dia.” Jihan lalu memesan makanan tersedia pada menu
            Aku ingin sedikit bercerita kisahku yang dulu sempat menjadi bahan omongan orang-orang di kampus. Saat aku pertama kali datang ke kampus saja, orang – orang melihat ke arahku. Mungkin gayaku yang pas-passan juga disertai mukaku yang tidak cantik.
            Di kampusku ini memang kawasan untuk orang menengah ke atas. Jadi, wajar saja aku diperlakukan tak sewajarnya. Aku mahasiswa Akuntasi, Fakultas Ekonomi, di universitas yang terbilang elite di Jakarta. Aku memilih kampus ini karena jurusan yang aku pilih terakreditasinya A. Lagi pula, kedua orang tuaku juga merekomendasikan untuk aku masuk sini.
“Lah orang udik kenapa masuk sini lo?!” tanyanya dengan nada sinis kepadaku.
“Mukanya saja enggak pantas buat jadi mahasiswa sini, ya enggak?”ledeknya bersama teman-temannya.
            Aku hanya terdiam saat itu. Hati berteriak marah, tapi mulut tak mampu melontarkan apa kata hati. Aku pun langsungpergi meninggalkan mereka. Toilet menjadi tujuanku untuk menumpahkan air mata ini. Terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahku.
“Apa ada orang di dalam?”tanya perempuan tersebut.
            Perempuan tersebut terus menggedor-gedor pintu toilet. Aku pun segera keluar dengan terpaksa. Ternyata perempuan itu adalah Jihan yang menjadi sahabatku sampai saat ini.
“Kamu habis nangis ya?” tanya Jihan sambil memegang mukaku.
Aku hanya diam dan menunduk
“Kamu bisa cerita ke aku, percaya saja sama aku.”
“Aku enggak kenapa-kenapa kok hehe. Kamu anak akutansi juga?” kataku dengan mengalihkan pembicaraan.
“Iya, nama aku Jihan. Kamu siapa?”
“Aku Tharina, panggil aja Rina. Salam kenal ya, daa aku mau ke kelas dulu ya.”
            Sejak saat itu, perempuan tersebut dengan teman-temannya masih saja memberiku cacian, terutama mengenai fisikku. Mereka adalah Irene, Widya, Fina, dan Luna. Rupanya mereka seniorku yang terkenal dengan keganasan mulutnya. Sudah banyak mahasiswa yang menjadi mangsa mereka, termasuk aku salah satunya. Banyak pro dan kontra mengenai tingkah mereka.
            Pernah waktu aku di kantin kampus makan siang di meja sendirian. Ya, karena memang tidak ada yang mau berteman denganku. Wajahku yang sangat pas-pasan, tubuhku yang besar, membuat mereka menjauhiku.
“Heh cewek jelek, minggir! Ini tempat makan gue sama teman-teman gue,” usir Irene.
“Noh, lo pantas duduk di deket tempat sampah itu, hahaha,” saran sinis dari Luna.
“Eh tunggu, denger-denger lo kan kaya ya. Kenapa enggak buat operasi muka saja?”tanya Irene.
“Irene! Lo bisa enggak sih, enggak usah nindas orang yang lemah!” kata mahasiswa yang tiba-tiba datang di mejaku.
Songong lo ye, manggil gue Irene doang, enggak pake Kak Irene. Anak mana sih lo?!” katanya sambil melayangkan tanggannya ke arah Jihan, tapi berhasil ditangkis.
“Gue seumuran ini sama lo, pokoknya gue denger lo nindas sahabat gue. Gue aduin ke kepala jurusan. Terserah mau lo aduin gue ke bapak lu yang pejabat itu, gue gak takut!” tantang Jihan.
“Raan, kamu satu meja saja sama aku di sana. Kebetulan aku juga lagi makan sendiri,” ajak Jihan kepadaku.
            Aku menceritakan semua masalahku kepada Jihan. Tak peduli orang sekitar melihatku dengan heran. Ucapan Kak Irene dan teman-temannya jujur kuakui saat itu, memang menyakitkan. Apakah salah jika aku memiliki wajah dan tubuh seperti ini? Apa aku juga harus menyalakan Tuhan yang menciptkanku? Lalu mengapa Tuhan tidak menciptakan semua wanita itu cantik? Entah, sudah berapa air mata yang kutumpahkan hanya masalah ini.
            Sejak saat itu aku dengan Jihan bersahabat. Ia mengajarkanku, jika ada orang yang menindasku haruslah dilawan jika memang ia salah. Namun, jika orang tersebut menasehati kita benar, maka haruslah kita terima nasehat tersebut.
            Di kampus aku mulai mengikuti kegiatan kerohanian Islam untuk bisa membentengi imanku yang terkadang mulai lemah. Dari organisasi situlah aku bertemu dengan suamiku. Dia seniorku yang sangat aktif dalam berbagai organisasi kampus.
Aku tak tahu mengapa Kak Deva bisa menyukaiku. Ia pernah bilang, “Aku menemukan diriku pada dirimu. Aku sudah tahu kamu menjadi bahan ejekan semua orang, tapi aku mendapati kecantikan yang ada di dalam hatimu.”
            Allah menciptakan setiap wanita ada yang cantik dan juga jelek. Itu semua bertujuan apakah seorang wanita tersebut mampu menjalani apa yang diberikan oleh-Nya. Cantik dan jelek merupakan ujian dari-Nya. Lagi pula cantik dan jelek itu relatif. Mulailah memperbaiki diri karena hati juga perlu cantik.

Keterangan:
*Oppa= Panggilan kakak laki-laki untuk adik perempuan

0 komentar:

Posting Komentar